Minggu, 19 Juni 2011

OPINI: Dilematisasi Ahmadiyah Sebagai Aliran Sesat

Perlawanan Terhadap Jamaat Ahmadiyah
Akhir-akhir ini negara kita terus ditimpa oleh berbagai persoalan yang datang silih berganti. Mulai dari persoalan merebaknya wabah virus flu burung yang cukup membuat panik masyarakat dalam mengkonsumsi ayam dan itu berdampak terhadap menurunnya penghasilan para penjual dan peternak ayam, kemudian pada bulan Mei pemerintah melalui menteri keuangan resmi menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan tersebut tentu saja membuat rakyat, khususnya ekonomi menengah ke bawah semakin berada dalam jerat penderitaan. Tidak lama kemudian muncul masalah baru yang berbau agama, yakni kontroversi Ahmadiyah sebagai sebuah “aliran sesat”. Wacana ini kini sedang hangat diperdebatkan dan menjadi headline dan topik utama diberbagai media massa baik cetak maupun elektronik.
Ahmadiyah sebagi sebuah aliran kepercayaan yang masuk di Indonesia pada tahun 1925 kini dikecam oleh berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di tanah air. Serangkaian aksi demonstrasi dilakukan oleh berbagai Ormas Islam seperti, Front Pembela Islam, Komando Laskar Islam, Hizbut Tahrir, serta forum Majelis Taklim meminta agar Jamaat Ahmadiyah dibubarkan, dengan dalil Ahmadiyah telah malakukan penghinaan dan penyipangan terhadap akidah Islamiah, hal itu kemudian dibenarkan oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem). Keputusan yang dikeluarkan oleh Bakorpakem semakin memperkeruh persoalan, hal itu dapat dilihat dari eskalasi demonstrasi massa dalam menentang Ahmadiyah semakin merebak di berbagai daerah.
Berbagai ancaman dihujatkan kepada jamaat Ahmadiyah, itu membuat mereka kehilangan rasa aman, dan hak-hak sebagai warga Negara untuk bebas berkeyakinanpun dilarang. Contoh kasus pada tanggal 04 Februari 2005 antara 500 sampai 1000 warga menyerang sebuah kompleks pemukiman Ahmadiyah di Gegurungan Lombok, Ibukota Propinsi Mataram. Aksi tersebut melukai enam orang dan menghancurkan 25 rumah, sehingga mengharuskan 137 warga mengungsi dipenampungan. Sejak kejadian itu segala macam aktivitas yang menyangkut peribadatanpun dihentikan, dan mereka terus berada dalam rongrongan kecemasan atas nasib mereka yang tidak aman.
Dalam keadaan dan situasi seperti ini, fungsi negara dalam melaksanakan penertiban (law and order); yaitu untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat negara harus melaksanankan penertiban atau dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator dalam mengkondusifkan keadaan.

Dimanakah peran undang-undang?
Jika jamaat Ahmadiyah terus berada dalam keadaan diskriminatif, terancam dan takut kerena terus dikecam, itu sama saja negara sudah lalai dalam menjamin hak-hak warga negara, dan itu berarti negara telah melakukan pelanggaran HAM by omission (pembiaran);membiarkan kelompok lain menganiyaya kelompok lain.
Realisasi dari pasal 29 ayat 2: bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu” Benar-benar mengalami kecacatan yang fatal. Sebenarnya warga negara mana yang dimaksud dalam pasal tersebut? Warga negara berarti semua orang yang berada dalam suatu negara dimana orang tersebut telah terdaftar sah berdasarkan hukum. Apakah pemeluk Ahmadiyah bukan warga negara Indonesia sehingga tidak diberi jaminan dan hak untuk dapat beribadat menurut kepercayaan mereka? ini merupakan pertanyaan yang perlu direfleksikan bersama.
Dalam undang-undang No. 1/1965 memang mengatur bahwa Indonesia mengakui adanya lima agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Pada perkembangannya dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid, Konghucu pada Februari 2005 disahkan di Indonesia. Pada dasarnya undang-undang dibuat untuk mengatur hubungan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, oleh sebab itu undang-undang bersifat fleksibel peka terhadap kanteks ruang dan waktu. Artinya kalau memang diperlukan adanya amenden untuk mencairkan suatu masalah ada baiknya amandemen segera dilakukan.
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dari PBB yang terdiri atas 30 artikel, diantaranya ada beberapa artikel yang menjamin hak individu/kelompok dalam berkeyakinan dan berkumpul/berorganisasi:
 artikel 2: hak untuk bebas dari diskriminasi. Ini bisa dartikan bahwa siapapun dia, dan siapapun anda tidak punya kuasa untuk mendiskreditkan kelompoknya dan menempatkan anda sebagai kolompok superior.
 artikel 18: kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, dan bebas berganti agama. Artinya tidak diperkenankan seseorang/sekelompok orang memaksakan kehendaknya kepada orang/kelompk lain dalam hal Ideologi dan kebebasan beragama.
 artikel 20: kebebasan berkumpul dan berserikat dengan tujuan damai, dan tidak seorangpun dipaksa untuk ikut suatu perkumpulan.
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak Sipil dan politik (Civil and Political Righ) dalam UU No. 12 tahun 2005, yang mana termasuk didalamnya adalah hak untuk menjamin warga negara dalam beragama/berkeyakinan (pasal 29:2), persamaan warganegara dimata hukum (pasal 26) dan kebebasan dalam berserikat/berkumpul (pasal 28).

Historikal Jemaat Ahmadiyah
Jamaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. pada tahun 1889, di Qadian, India (kini masuk wilayah Pakistan). Ahmadiyah bukanlah suatu agama tetapi hanya sebuah gerakan di dalam islam. Pada dasarnya Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimat Syahadat “Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah” dan Jamaat Ahmadiyah bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah. Jadi mereka percaya bahwa Muhammad adalah rasul utusan Allah.
Jamaat Ahmadiyah ini muncul sebagai sebuah konter terhadap dominasi Kristen dan neo-Hindu di India pada masa itu. Melihat serangan terhadap Islam semakin menjadi-jadi, dan tidak ada upaya berarti yang dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam, maka berdasarkan bimbingan dari Allah, Hz.Mirza Ghulam Ahmad as. mulai menulis buku Barahiin Ahmadiyya. Jilid 1 dan 2 diterbitkan pada tahun 1880; jilid 3 terbit pada tahun 1882; dan jilid 4 pada tahun 1884. Intinya beliau memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta ketinggian/kemuliaan Kitab Suci Al-Quran dan Rasulullah saw. sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya. Beliau mengaku bahwa kitab tersebut ditulis atas dasar wahyu yang diberikan Allah.
Sejak dikeluarkan buku tersebut, banyak orang yang kemudian berguru atau menjadi muridnya. Jumlah pengikutnya dari hari ke hari kian bertambah dan pada perkembangannya gerakan ini menjadi organisasi yang besar. Pada bulan Maret 1882, Mirza Ghulam Ahmad mengaku memperoleh perintah/wahyu dari Allah bahwa beliau dijadikan Ma’mur Minallah (Utusan Allah). Pada akhir tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu yang menyatakan bahwa Nabi Isa as. telah wafat dan Almasih yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman itu beliaulah orangnya. Dengan adanya pengakuan seperti itu secara langsung Ahmadiyah sudah menjadi sebuah ajaran yang beda dari Islam. Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada tanggal 26 Mei 1908. Jenazah dibawa ke Qadian dan dikebumikan disana.
Misi Jemaat Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925 berasal dari pesantren/madrasah Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat. Mulai sejak itu terjadi perluasan ke berbagai daerah di Indonesia.

Perbedaan substansial Ahmadiyah dengan Islam Mainstream
 Ahmadiyah adalah suatu aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, dan mereka meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi mereka yang terakhir.
 Kitab suci yang dipergunakan adalah Tadzkirah berbeda dengan umat Islam, yaitu Al-Qur`an.
 Dalam ajaran Islam, jumlah nabi sebanyak 25, dan nabi yang terakhir adalah Muhammad swa. Sedangkan dalam Ahmadiyah, Nabi/Rasul yang wajib dipercayai harus 26 orang, dan Nabi dan Rasul yang ke-26 tersebut adalah “Nabi Mirza Ghulam Ahmad”
 Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qadiyan di India. Mereka mengatakan: “Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar”. Dan selama hidupnya “nabi” Mirza tidak pernah haji ke Makkah.
 Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama bulan Ahmadiyah adalah: 1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ihsan 7. Wafa 8. Zuhur 9. Tabuk 10. Ikha’ 11. Nubuwah 12. Fatah. Sedang tahunnya adalah Hijri Syamsi yang biasa mereka singkat dengan H.S. Dan tahun Ahmadiyah saat ini adalah tahun 1373 H.S (1994 M atau 1414 H). Kewajiban menggunakan tanggal, bulan dan tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua yaitu Basyiruddin Mahmud Ahmad .

Dilematisasi Ahmadiyah sebagai ”Aliran Sesat”
Berdasarkan perbedaan yang telah disampaikan di atas, indikator yang menjelaskan bahwa Ahmadiyah telah melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam (mainstream), dan itu oleh umat islam diartikan bahwa Ahmadiyah telah melakukan penghinaan/pelecehan terhadap akidah Islamiah.
Atas desakan dari berbagai elemen organisasi Islam, Bakorpakem mengeluarkan rekomendasi yang menyebut Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyimpang dari ajaran pokok Islam yang dianut di Indonesia. Rekomendasi itu adalah langkah negara menindaklanjuti fatwa Majelis Ulama Indonesia atas ajaran Ahmadiyah yang dinilai sesat dan menyesatkan umat Islam.
Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM), keputusan Bakorpakem tersebut dinilai telah menelanjangi HAM Indonesia, karena keputusan tersebut mematikan sistem kepercayaan suatu kelompok, yaitu jamaat Ahmadiyah. Namun, disisi yang berbeda apabila keadaan itu tetap dibiarkan dimana jamaat Ahmadiyah terus secara bebas menjalankan ajaran agamanya, pelecehan justru akan dialami oleh umat Islam mainstream.
Momen yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam mengangkat isu ini ke permukaan, yakni insiden Monas 1 Juni 2008, dimana terjadi aksi anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), dan Komando Laskar Islam (KLI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Pada waktu itu AKKBB melakukan orasi secara damai dalam merespon kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, didalm aksi itu, isu hak asasi manusia dalam berkeyakinanpun turut disuarakan, dan jamaat Ahmadiyah juga tergabung dalam aliansi tersebut. Disaat yang bersamaan, FPI dan KLI pun berada pada lokasi yang sama, akhirnya konflikpun tidak dapat dihidari.
Dalam sebuah acara debat pada suatu stasiun televisi swasta, dari pihak Islam mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Ahmadiyah jauh lebih berat dari pada kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan KLI pada peristiwa Monas. Kekerasan bukan saja dalam bentuk fisik, tetapi juga dapat terjadi secara psikis. Bagi umat Islam, kekerasan yang dilakukan oleh Ahmadiya secara psikis jauh lebih kejam dari pada kekerasan fisik.
Persoalan ini memang berada pada persimpangan yang membingungkan. Terjadi polemik HAM versus HAM, jika jamaat Ahmadiyah dikalaim sesat berarti telah terjadi sebuah pelanggaran HAM oleh negara secara by commission terhadap jamaat Ahmadiyah. Namun sebaliknya jika negara membiarkan jamaat Ahmadiyah terus menjalankan rutinatas peribadatan berati negara juga telah melakukan pelanggaran HAM by omittion terhadap umat Islam (mainstream).
Dalam menyikapi persoalan yang dilematis ini, pemerintah mengambil tindakan dengan mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri Menteri Agama, Menteri Dalam negeri, dan Kejaksaan Agung.
Isi lengkap SKB 3 Menteri :
1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenai sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Multi tafsir SKB Tiga Menteri
Ouput dari SKB Tiga Menteri masih sangat bias HAM, bagi kedua pihak khusunya kepada jemaat Ahmadiyah. Pada poin kedua jelas melarang pengikut Ahmadiyah untuk beribadah diluar ajaran islam mainsstream. Semenetara akidah mereka mengajarkan seperti itu. Kalau ajaran mereka sama seperti islam mainstream berarti tidak ada yang perlu dipermasalhkan. Point ke dua ini jelas mematikan kegiatan ibadah (ritualisme) dari jamaat Ahmadiyah.
Jaksa Agung, Hendarman Supandji kepada wartawan seusai pengumuman SKB 3 Menteri Tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kantor Departemen Agama (Depag), Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menegaskan bahwa isi SKB itu sudah jelas “Hanya memerintah dan memperingatkan (JAI), tidak ada pelarangan,” tegas Hendarman. (9/6/2008)
SKB tiga menteri ini jelas memunculkan multitafsir. “Melarang“ dan “Memperingati“ dua kata ini memiliki makna yang berbeda. “Memperingati” merupakan langkah sebelum menuju ke “Pelarangan”. Namun dalam SKB tiga menteri tersebut, jelas larangan diikuti dengan adanya sanksi (perhatikan korelasi poin dua dan tiga). Itu berarti ada unsur paksaan, khususnya bagi JAI untuk menghentikan segala macam aktifitasnya itu sama saja dengan “melarang”. Asumsi saya pemerintah melakukan pembuburan terhadap JAI secara halus.

Urusan Ego dan Theos
Kebebasan beragama merupakan salah satu kebebasan yang paling mendasar. Individu-individu secara bebas memilih dengan siapa dia menyandarkan hidupnya di dunia dan mengharapkan keselamatan di akherat. Artinya urusan dengan siapa dia menyakini, atau Tuhan yang mana dia sembah tidak boleh diatur oleh pihak lain.
Negara sebagai organisasi tertinggi memiliki tujuan seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 harus bersikap adil terhadap semua warganegaranya, asas Equality before the law harus dikedepankan. Hal yang individualistik menyangkut kepercayaan kepada Tuhan sebaiknya dijunjung dengan memberi kebebasan penuh kepada setiap warganegara untuk beribadah sesuai dengan kepercayaanya. Telah ada pasal 29:2, namun pasal tersebut ”kelihatannya” hanya menjamin warganegara yang menganut enam agama yang telah diakui. Jangan ada batasan atau peraturan mengenai sah atau tidaknya suatu agama/aliran kepercayaan, dengan adanya peraturan seperti itu, justru itulah yang berpotensi menciptakan konflik harizontal antar umat beragama. Biarkanlah saja masing-masing individu/kelompok berkeyakinan sesuai dengan kepercayaannya selama kepercayaannya itu tidak menghilangkan nyawa orang lain atau kepercayaannya itu tidak merugikan pihak lain secara duniawi. Negara dalam konteks ini perannya hanya sebagai ”pelayan” dalam menyediakan fasilitas dan sebagai stabilisator dalam menyikapi konflik, serta mengontrol/monitoring jalannya setiap kegiatan keagamaan agar tidak sampai merugikan pihak lain (secara duniawi).
Sekali lagi persolan beragama atau memilih Tuhan merupakan urusan individu dengan sang pencipta. Saya mau memilih Yesus sebagai Tuhan saya, dan anda mau memilih Muhammad sebagai Nabi anda, atau mereka mau memilih Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi mereka, itu adalah hak dan urusan pribadi masing-masing individu dengan Sang Khalik menyangkut keselamatan akherat. Artinya urusan agama adalah persoalan antara ego dengan Theos. Jika negara ikut membenarkan bahwa aliran kepercayaan suatu kelompok adalah ”aliran sesat” dan mengambil kebijakan hukum untuk membubarkan, itu berarti negara telah melakukan sebuah pelanggaran HAM.
Oleh Fredek E Lodar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar