Senin, 20 Juni 2011

Mencoba Memahami Letak Relefansi Konsep Hak Asasi dan Demokrasi

Ketika orang mulai berbicara tentang demokrasi, secara langsung persoalan HAM pun akan ikut dibicarakan. Antara HAM dan Demokrasi keduanya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan (satu paket). Mengungkit soal demokrasi berati kita akan mendiskusikan mengenai persoalan Hak Asasi manusia. Letak keterkaitan antara kedua konsep itu terkandung pada tujuan dari perjuangan sebuah demokrasi.
Demokrasi merupakan sebuah gagasan dalam memperjuangkan kesetaran dalam aspek sosial ekonomi politik. Dengan diberlakukannya demokrasi secara ideal diharapkan terciptanya keadilan dan kesetaraan di mata hukum, ekonomi sosial dan budaya. Antara satu individu dengan individu yang lain memiliki hak yang sama dan itu dilindungi oleh negara.
Demokrasi jika dilihat dari sudut ilmu tata negara merupaka sebuah sistem yang mengarahkan bagaimana cara membangun sebuah fondasi dalam bangunan kekuasaan struktur kenegaraan. Dengan kata lain demokrasi adalah cara dalam mencapai sebuah kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Kekuasaan yang bersumber dari rakyat harus digunakan untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan suku, ras, agama dan antar golongan (komunitas tertentu).
Berbicara tentang rakyat berarti mata kita tertuju pada sejumlah manusia yang mendiami sebuah teritorial yang berdaulat. Dari Sabang sampai Merauke secara antropologi dihuni sejumlah kelompok suku, etnis, yang sangat multikultural. Kemudian berdasarkan keyakinan, negara ini baru menerima 6 agama. Dengan kondisi tatanan kehidupan yang sangat plural inilah dibutuhkan sebuah sistem yang namanya demokrasi untuk menjamin terciptanya keadilan bagi segenap rakyat Indonesia.
Sebuah pertanyaan mendasar terlontar menganai bagaimana bisa demokrasi mewujudkan terciptanya keadilan yang pada muaranya menselarsaskan keadilan yang membungkus keanekaragaman kelompok-kelompok masyarakat yang plural ini?
Makna klasik dan populer dari demokrari adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat (rakyat: kumunitas politik, sosial ekonomi yang mejemuk). Artinya dapat diterjemahkan sebagai sumber kekuasaan yang diamanatkan kepada sebuah kelompok politik (Partai Politik) untuk memperjuangkan kehendak setiap kelompok “rakyat-rakyat”.
Semaraknya “pesta demokrasi” (Pemilu) beberapa dekade terakhir ini menunjukan pergolakan perjuangan dari sejumlah entitas dalam memperjuangkan kehendaknya semakin agresif dilakukan. Munculnya partai A yang mangatas namakan perjuangannya atas kaum buruh, partai B atas dasar keadilan yang berkebangsaan dan partai Z yang membawa panji-panji agama dan lain-lain merupakan manifestasi dari perjuangan untuk memperoleh perhatian dari negara sebagai organisasi terbesar yang memiliki otoritas legal dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernagara.
Lewat Parpol, sejumlah rakyat memberikan mandat untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka. Dengan demikian diharapkan setiap regulasi dan kebijakan publik yang diproduksi oleh negara (Eksekutif-Legislatif-Yudikatif) memberi manfaat sesuai dengan yang dikehendaki oleh rakyat.
Demokrasi yang hidup pada zaman Plato merupakan sebuah sistem yang dibangun oleh para aristokrat feodalis dalam mempertahankan staus quo atas kekuasaan yang meraka nikmati. Demokrasi di Indonesia diharamkan menelusuri jejak demokrasi di masa itu, dimana kekuasaan yang diperoleh digunakan hanya untuk kepentingan sekelompok golongan tertentu.
Akhir kata yang mau disamapaikan dalam tulisan yang singkat ini adalah demokrasi merupakan sebuah usaha sistematis untuk memperoleh kekuasaan yang kemudian setelah itu diperoleh, langkah selanjutnya yaitu menatap ke depan dengan mendengar suara-suara rakyat yang terkekang oleh sistem yang menginginkan sebuah tatanan kehidupan yang adil yang berlandaskan pada penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Gunungkidul, 12/06/2010
F E L

Kejengkelan si dia atas fakta friksi terhadap nilai anutannya !

Kejangkelan yang teramat sangat termuntahkan dari mulut dia. Dia adalah seorang pengagum kebenaran dan pembenci kebodohan. Di suatu senja dia disentak oleh sesuatu kejadian yang friksi dengan nilai-nilai hidupnya. Seorang sahabat  berceritra “ tadi siang ada seorang anggota DPRD datang ketempat bekerjaku (sebuah SD). Dia datang bukan sebagai wakil rakyat yang mencari sebuah kebenaran, tetapi justru dia datang sebagai seorang pengacau kebenara ! dia melakukan pembelaan terhadap seorang penyuapnya…..sungguh Ironis.!
Ada sebuah penyimpangan yang berlangsung di tempat itu oleh si penyuap politikus dunggu itu….dia memalsukan data untuk mencapai apa yang diidamkannya. Untuk mencapai niatnya, dia “mengajak” anggota DPRD itu. Entah dengan pendekatan apa dia lakukan hingga poli-“tikus” itu membabi-buta berargumen sesat untuk melakukan pembenaran terhadapnya…”saya anggota DPRD lho” kira-kira itu adalah sebuah klausul yang dilontarkan dengan begitu arogan ditempat itu. Dia merasa HEBAT dengan statusnya sebagai wakil rakyat yang berhasil duduk di gedung yang terhormat itu. Sayangnya dia benar-benar dungu. Sombong dengan statusnya tatkalah perannya tidak dia mainkan. Sungguh alangkah…..tidak ada kata yang dapat melukiskan tingkah lakunya yang memuakan itu.
 “Orang yang bijak adalah orang yang mengetahui, sementara orang yang berdosa adalah orang yang bodoh” Sokrates manusia kuno jauh sebelum manusia modern ini adalah telah memilki ide yang jernih. Melihat orang yang bijak sebagi orang yang mengetahui, dan orang berdosa sebagi orang yang bodoh. Orang berdosa karena dia bodoh tidak mengetahui apakah yang dialakukan adalah salah. Anggota dewan yang terhormat  membela sebuah kesalah berarti  dia bodoh dan berdosa!
Jika dia hidup neraka, mungkin dia adalaah seorang kesatria karena membela kesalah, namun sayang sekali dia hidup bukan di neraka. Mungkin nanti setelah dia selesai di dunia ini dia akan menjadi seorang yang sangat berpengaruh di sana.
Sekali lagi si pengagum kebenaran hampir muntah ketika mendengar bahwa rupanya si penyogok memilki relasi dengan para pejabat diberbagai birokrasi yang berhubungan dengan kasusunya. Sebelu kejadian siang itu, dia mambawa lagi salah seorang birokrat mata duitan untuk membela posisinya dengan memberi argumen yang dipenuhi pemutarbalikan fakta. Katanya dengan begitu menyakinkan si birokrat itu memabalikan kebenaran menjadi kebohongan. Bang haji Rhoma Irama berkata “sungguh terlalu” disaat emosi yang berapi-api, sembari ada rasa tergelitik yang teramat sangat dicela-cela ruang hati yang panas. Kog  bisa para birokrat dan politikus itu distir oleh oleh dia? Hebat sekali dia. Ingin rasanya mengintip rahasia yang digunakannya. Heemm tetapi sepertinya bukan rahasia umum lagi kalau birokrat dan politikus apapun dilakukan demi RP. Hahahaha…..para pemuja RP yang sejati. Uang bukanlah segala-gala dalam hidup ini pak birokrat dan pak politikus. Uang bukanlah tujuan hidup ini! Apalah artinya jika bergelimang harta jika itu didapat dengan cara yang mengantar anda pada jurang dosa? Ha! Apalah artinya punya banyak uang jika hidup anda tidak damai? Ha!. Sia-sialah uang jika hidup ini gelisah. Uang pada intinya semua membutuhkan itu, tidak ada satupun manusia modern yang tidak membutuhkannya. Tetapi yang perlu ditekankan adalah cara mendapatkannya. Kesadaran dalam bertindak adalah ciri manusia ciptaan Tuhan. Mengtahui dengan sadar apa yang benar yang harus dilakukan den sebaliknya apa yang salah yang harus dihindari…semoga setiap dari kita terus berusaha menjadi orang yang bijak yang mengatahui.

Minggu, 19 Juni 2011

OPINI: Dilematisasi Ahmadiyah Sebagai Aliran Sesat

Perlawanan Terhadap Jamaat Ahmadiyah
Akhir-akhir ini negara kita terus ditimpa oleh berbagai persoalan yang datang silih berganti. Mulai dari persoalan merebaknya wabah virus flu burung yang cukup membuat panik masyarakat dalam mengkonsumsi ayam dan itu berdampak terhadap menurunnya penghasilan para penjual dan peternak ayam, kemudian pada bulan Mei pemerintah melalui menteri keuangan resmi menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan tersebut tentu saja membuat rakyat, khususnya ekonomi menengah ke bawah semakin berada dalam jerat penderitaan. Tidak lama kemudian muncul masalah baru yang berbau agama, yakni kontroversi Ahmadiyah sebagai sebuah “aliran sesat”. Wacana ini kini sedang hangat diperdebatkan dan menjadi headline dan topik utama diberbagai media massa baik cetak maupun elektronik.
Ahmadiyah sebagi sebuah aliran kepercayaan yang masuk di Indonesia pada tahun 1925 kini dikecam oleh berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam di tanah air. Serangkaian aksi demonstrasi dilakukan oleh berbagai Ormas Islam seperti, Front Pembela Islam, Komando Laskar Islam, Hizbut Tahrir, serta forum Majelis Taklim meminta agar Jamaat Ahmadiyah dibubarkan, dengan dalil Ahmadiyah telah malakukan penghinaan dan penyipangan terhadap akidah Islamiah, hal itu kemudian dibenarkan oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem). Keputusan yang dikeluarkan oleh Bakorpakem semakin memperkeruh persoalan, hal itu dapat dilihat dari eskalasi demonstrasi massa dalam menentang Ahmadiyah semakin merebak di berbagai daerah.
Berbagai ancaman dihujatkan kepada jamaat Ahmadiyah, itu membuat mereka kehilangan rasa aman, dan hak-hak sebagai warga Negara untuk bebas berkeyakinanpun dilarang. Contoh kasus pada tanggal 04 Februari 2005 antara 500 sampai 1000 warga menyerang sebuah kompleks pemukiman Ahmadiyah di Gegurungan Lombok, Ibukota Propinsi Mataram. Aksi tersebut melukai enam orang dan menghancurkan 25 rumah, sehingga mengharuskan 137 warga mengungsi dipenampungan. Sejak kejadian itu segala macam aktivitas yang menyangkut peribadatanpun dihentikan, dan mereka terus berada dalam rongrongan kecemasan atas nasib mereka yang tidak aman.
Dalam keadaan dan situasi seperti ini, fungsi negara dalam melaksanakan penertiban (law and order); yaitu untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat negara harus melaksanankan penertiban atau dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator dalam mengkondusifkan keadaan.

Dimanakah peran undang-undang?
Jika jamaat Ahmadiyah terus berada dalam keadaan diskriminatif, terancam dan takut kerena terus dikecam, itu sama saja negara sudah lalai dalam menjamin hak-hak warga negara, dan itu berarti negara telah melakukan pelanggaran HAM by omission (pembiaran);membiarkan kelompok lain menganiyaya kelompok lain.
Realisasi dari pasal 29 ayat 2: bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu” Benar-benar mengalami kecacatan yang fatal. Sebenarnya warga negara mana yang dimaksud dalam pasal tersebut? Warga negara berarti semua orang yang berada dalam suatu negara dimana orang tersebut telah terdaftar sah berdasarkan hukum. Apakah pemeluk Ahmadiyah bukan warga negara Indonesia sehingga tidak diberi jaminan dan hak untuk dapat beribadat menurut kepercayaan mereka? ini merupakan pertanyaan yang perlu direfleksikan bersama.
Dalam undang-undang No. 1/1965 memang mengatur bahwa Indonesia mengakui adanya lima agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Pada perkembangannya dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid, Konghucu pada Februari 2005 disahkan di Indonesia. Pada dasarnya undang-undang dibuat untuk mengatur hubungan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, oleh sebab itu undang-undang bersifat fleksibel peka terhadap kanteks ruang dan waktu. Artinya kalau memang diperlukan adanya amenden untuk mencairkan suatu masalah ada baiknya amandemen segera dilakukan.
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dari PBB yang terdiri atas 30 artikel, diantaranya ada beberapa artikel yang menjamin hak individu/kelompok dalam berkeyakinan dan berkumpul/berorganisasi:
 artikel 2: hak untuk bebas dari diskriminasi. Ini bisa dartikan bahwa siapapun dia, dan siapapun anda tidak punya kuasa untuk mendiskreditkan kelompoknya dan menempatkan anda sebagai kolompok superior.
 artikel 18: kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama, dan bebas berganti agama. Artinya tidak diperkenankan seseorang/sekelompok orang memaksakan kehendaknya kepada orang/kelompk lain dalam hal Ideologi dan kebebasan beragama.
 artikel 20: kebebasan berkumpul dan berserikat dengan tujuan damai, dan tidak seorangpun dipaksa untuk ikut suatu perkumpulan.
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak Sipil dan politik (Civil and Political Righ) dalam UU No. 12 tahun 2005, yang mana termasuk didalamnya adalah hak untuk menjamin warga negara dalam beragama/berkeyakinan (pasal 29:2), persamaan warganegara dimata hukum (pasal 26) dan kebebasan dalam berserikat/berkumpul (pasal 28).

Historikal Jemaat Ahmadiyah
Jamaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. pada tahun 1889, di Qadian, India (kini masuk wilayah Pakistan). Ahmadiyah bukanlah suatu agama tetapi hanya sebuah gerakan di dalam islam. Pada dasarnya Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimat Syahadat “Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah” dan Jamaat Ahmadiyah bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah rasul Allah. Jadi mereka percaya bahwa Muhammad adalah rasul utusan Allah.
Jamaat Ahmadiyah ini muncul sebagai sebuah konter terhadap dominasi Kristen dan neo-Hindu di India pada masa itu. Melihat serangan terhadap Islam semakin menjadi-jadi, dan tidak ada upaya berarti yang dilakukan oleh pemuka-pemuka Islam, maka berdasarkan bimbingan dari Allah, Hz.Mirza Ghulam Ahmad as. mulai menulis buku Barahiin Ahmadiyya. Jilid 1 dan 2 diterbitkan pada tahun 1880; jilid 3 terbit pada tahun 1882; dan jilid 4 pada tahun 1884. Intinya beliau memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta ketinggian/kemuliaan Kitab Suci Al-Quran dan Rasulullah saw. sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya. Beliau mengaku bahwa kitab tersebut ditulis atas dasar wahyu yang diberikan Allah.
Sejak dikeluarkan buku tersebut, banyak orang yang kemudian berguru atau menjadi muridnya. Jumlah pengikutnya dari hari ke hari kian bertambah dan pada perkembangannya gerakan ini menjadi organisasi yang besar. Pada bulan Maret 1882, Mirza Ghulam Ahmad mengaku memperoleh perintah/wahyu dari Allah bahwa beliau dijadikan Ma’mur Minallah (Utusan Allah). Pada akhir tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu yang menyatakan bahwa Nabi Isa as. telah wafat dan Almasih yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman itu beliaulah orangnya. Dengan adanya pengakuan seperti itu secara langsung Ahmadiyah sudah menjadi sebuah ajaran yang beda dari Islam. Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada tanggal 26 Mei 1908. Jenazah dibawa ke Qadian dan dikebumikan disana.
Misi Jemaat Ahmadiyah pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1925 berasal dari pesantren/madrasah Thawalib, Padang Panjang, Sumatra Barat. Mulai sejak itu terjadi perluasan ke berbagai daerah di Indonesia.

Perbedaan substansial Ahmadiyah dengan Islam Mainstream
 Ahmadiyah adalah suatu aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, dan mereka meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi mereka yang terakhir.
 Kitab suci yang dipergunakan adalah Tadzkirah berbeda dengan umat Islam, yaitu Al-Qur`an.
 Dalam ajaran Islam, jumlah nabi sebanyak 25, dan nabi yang terakhir adalah Muhammad swa. Sedangkan dalam Ahmadiyah, Nabi/Rasul yang wajib dipercayai harus 26 orang, dan Nabi dan Rasul yang ke-26 tersebut adalah “Nabi Mirza Ghulam Ahmad”
 Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qadiyan di India. Mereka mengatakan: “Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar”. Dan selama hidupnya “nabi” Mirza tidak pernah haji ke Makkah.
 Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama bulan Ahmadiyah adalah: 1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ihsan 7. Wafa 8. Zuhur 9. Tabuk 10. Ikha’ 11. Nubuwah 12. Fatah. Sedang tahunnya adalah Hijri Syamsi yang biasa mereka singkat dengan H.S. Dan tahun Ahmadiyah saat ini adalah tahun 1373 H.S (1994 M atau 1414 H). Kewajiban menggunakan tanggal, bulan dan tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua yaitu Basyiruddin Mahmud Ahmad .

Dilematisasi Ahmadiyah sebagai ”Aliran Sesat”
Berdasarkan perbedaan yang telah disampaikan di atas, indikator yang menjelaskan bahwa Ahmadiyah telah melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam (mainstream), dan itu oleh umat islam diartikan bahwa Ahmadiyah telah melakukan penghinaan/pelecehan terhadap akidah Islamiah.
Atas desakan dari berbagai elemen organisasi Islam, Bakorpakem mengeluarkan rekomendasi yang menyebut Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyimpang dari ajaran pokok Islam yang dianut di Indonesia. Rekomendasi itu adalah langkah negara menindaklanjuti fatwa Majelis Ulama Indonesia atas ajaran Ahmadiyah yang dinilai sesat dan menyesatkan umat Islam.
Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM), keputusan Bakorpakem tersebut dinilai telah menelanjangi HAM Indonesia, karena keputusan tersebut mematikan sistem kepercayaan suatu kelompok, yaitu jamaat Ahmadiyah. Namun, disisi yang berbeda apabila keadaan itu tetap dibiarkan dimana jamaat Ahmadiyah terus secara bebas menjalankan ajaran agamanya, pelecehan justru akan dialami oleh umat Islam mainstream.
Momen yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam mengangkat isu ini ke permukaan, yakni insiden Monas 1 Juni 2008, dimana terjadi aksi anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), dan Komando Laskar Islam (KLI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Pada waktu itu AKKBB melakukan orasi secara damai dalam merespon kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, didalm aksi itu, isu hak asasi manusia dalam berkeyakinanpun turut disuarakan, dan jamaat Ahmadiyah juga tergabung dalam aliansi tersebut. Disaat yang bersamaan, FPI dan KLI pun berada pada lokasi yang sama, akhirnya konflikpun tidak dapat dihidari.
Dalam sebuah acara debat pada suatu stasiun televisi swasta, dari pihak Islam mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Ahmadiyah jauh lebih berat dari pada kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan KLI pada peristiwa Monas. Kekerasan bukan saja dalam bentuk fisik, tetapi juga dapat terjadi secara psikis. Bagi umat Islam, kekerasan yang dilakukan oleh Ahmadiya secara psikis jauh lebih kejam dari pada kekerasan fisik.
Persoalan ini memang berada pada persimpangan yang membingungkan. Terjadi polemik HAM versus HAM, jika jamaat Ahmadiyah dikalaim sesat berarti telah terjadi sebuah pelanggaran HAM oleh negara secara by commission terhadap jamaat Ahmadiyah. Namun sebaliknya jika negara membiarkan jamaat Ahmadiyah terus menjalankan rutinatas peribadatan berati negara juga telah melakukan pelanggaran HAM by omittion terhadap umat Islam (mainstream).
Dalam menyikapi persoalan yang dilematis ini, pemerintah mengambil tindakan dengan mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri Menteri Agama, Menteri Dalam negeri, dan Kejaksaan Agung.
Isi lengkap SKB 3 Menteri :
1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenai sanksi seusai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenai sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Multi tafsir SKB Tiga Menteri
Ouput dari SKB Tiga Menteri masih sangat bias HAM, bagi kedua pihak khusunya kepada jemaat Ahmadiyah. Pada poin kedua jelas melarang pengikut Ahmadiyah untuk beribadah diluar ajaran islam mainsstream. Semenetara akidah mereka mengajarkan seperti itu. Kalau ajaran mereka sama seperti islam mainstream berarti tidak ada yang perlu dipermasalhkan. Point ke dua ini jelas mematikan kegiatan ibadah (ritualisme) dari jamaat Ahmadiyah.
Jaksa Agung, Hendarman Supandji kepada wartawan seusai pengumuman SKB 3 Menteri Tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di kantor Departemen Agama (Depag), Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menegaskan bahwa isi SKB itu sudah jelas “Hanya memerintah dan memperingatkan (JAI), tidak ada pelarangan,” tegas Hendarman. (9/6/2008)
SKB tiga menteri ini jelas memunculkan multitafsir. “Melarang“ dan “Memperingati“ dua kata ini memiliki makna yang berbeda. “Memperingati” merupakan langkah sebelum menuju ke “Pelarangan”. Namun dalam SKB tiga menteri tersebut, jelas larangan diikuti dengan adanya sanksi (perhatikan korelasi poin dua dan tiga). Itu berarti ada unsur paksaan, khususnya bagi JAI untuk menghentikan segala macam aktifitasnya itu sama saja dengan “melarang”. Asumsi saya pemerintah melakukan pembuburan terhadap JAI secara halus.

Urusan Ego dan Theos
Kebebasan beragama merupakan salah satu kebebasan yang paling mendasar. Individu-individu secara bebas memilih dengan siapa dia menyandarkan hidupnya di dunia dan mengharapkan keselamatan di akherat. Artinya urusan dengan siapa dia menyakini, atau Tuhan yang mana dia sembah tidak boleh diatur oleh pihak lain.
Negara sebagai organisasi tertinggi memiliki tujuan seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 harus bersikap adil terhadap semua warganegaranya, asas Equality before the law harus dikedepankan. Hal yang individualistik menyangkut kepercayaan kepada Tuhan sebaiknya dijunjung dengan memberi kebebasan penuh kepada setiap warganegara untuk beribadah sesuai dengan kepercayaanya. Telah ada pasal 29:2, namun pasal tersebut ”kelihatannya” hanya menjamin warganegara yang menganut enam agama yang telah diakui. Jangan ada batasan atau peraturan mengenai sah atau tidaknya suatu agama/aliran kepercayaan, dengan adanya peraturan seperti itu, justru itulah yang berpotensi menciptakan konflik harizontal antar umat beragama. Biarkanlah saja masing-masing individu/kelompok berkeyakinan sesuai dengan kepercayaannya selama kepercayaannya itu tidak menghilangkan nyawa orang lain atau kepercayaannya itu tidak merugikan pihak lain secara duniawi. Negara dalam konteks ini perannya hanya sebagai ”pelayan” dalam menyediakan fasilitas dan sebagai stabilisator dalam menyikapi konflik, serta mengontrol/monitoring jalannya setiap kegiatan keagamaan agar tidak sampai merugikan pihak lain (secara duniawi).
Sekali lagi persolan beragama atau memilih Tuhan merupakan urusan individu dengan sang pencipta. Saya mau memilih Yesus sebagai Tuhan saya, dan anda mau memilih Muhammad sebagai Nabi anda, atau mereka mau memilih Mirza Gulam Ahmad sebagai Nabi mereka, itu adalah hak dan urusan pribadi masing-masing individu dengan Sang Khalik menyangkut keselamatan akherat. Artinya urusan agama adalah persoalan antara ego dengan Theos. Jika negara ikut membenarkan bahwa aliran kepercayaan suatu kelompok adalah ”aliran sesat” dan mengambil kebijakan hukum untuk membubarkan, itu berarti negara telah melakukan sebuah pelanggaran HAM.
Oleh Fredek E Lodar

OPINI: Slogan Politis Para Kandidat Pilpres 2009



Dalam sejarah Pemilu, Indonesia tercatat telah melangsungkan 9 (sembilan) kali pesta demokrasi, dan tahun 2004 merupakan momen bersejarah dalam demokrasi bangsa kita, sebab untuk pertama kalinya dilangsungkan pemilihan umum presiden dan wakilnya secara langsung. Kini untuk kedua kalinya akan dilangsungkan lagi. Persaingan untuk merebut hati rakyat semakin ketat. Para kandidat harus berpikir keras untuk menyederhanakan tindakan yang akan dilakukan jika terpilih, dan slogan merupakan cara praktis yang dipakai untuk menunjukkan janji kepada rakyat.

Slogan Para Kandidat
Sudah 64 tahun bangsa kita meresapi kemerdekaan. Medeka dari kolonialisasi telah kita peroleh lewat perjuangan para pahlawan di medan laga, namun setelah kemerdekaan diperoleh, ada sekian banyak dari anak bangsa ini yang masih belum merasakan arti kemerdekaan. Merdeka berarti hidup tenang, dan sejahtera rupanya masih menjadi pekerjaan rumah yang rumit bagi pemimpin di negeri ini.
Terjadinya konflik horizontal yang bernuansa suku, ras, agama dan antar golongan masih berkecambuk di beberapa daerah, tingkat kemiskinan kelihatannya semakin meningkat meskipun secara statistik menunjukkan terjadinya penurunan, mahalnya biaya pendidikan membuat rakyat kecil tetap terbelakang dalam mengakses pendidikan yang lebih baik. Hal-hal yang disebutkan itu merupakan persoalan kenegaraan yang kemudian menjadi isu-isu potensial yang dipakai untuk mencuri hati rakyat.
Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh rakyat telah dibaca oleh para kandidat calon presiden dan wakilnya. Dalam menggambarkan tindakan yang akan dilakukan, setiap calon memiliki motto atau slogan. Pasangan Mega-Prabowo ”Harapan Baru Indonesia”, SBY-Boediono ”Pemerintahan yang Bersih untuk Rakyat”, dan Memberi Bukti Bukan Janji” yang diakhiri dengan kata Lanjutkan”, sedangkan pasangan JK-Wiranto mottonya adalah ”Lebih Cepat Lebih Baik” dan ”Untuk Indonesia Mandiri”. Setiap slogan itu memberi tawaran bagi rakyat mengenai tindakan yang akan dilakukan jika nanti terpilih.

Pandangan Ekonomi
Pasangan dengan nomor urut 1 (satu), Mega-Prabowo menawarkan prinsip ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang pro terhadap wong cilik dengan mengedepankan pembangunan pada sektor rill yang bertumpu pada pemanfaatan potensi sumber daya alam yang dikelola secara mendiri untuk kemakmuran bersama tanpa melibatkan campur tangan pihak asing. Untuk itu pasangan dengan nomor urut satu ini akan melaksanakan revitalisasi terhadap sektor ekonomi secara besar-besaran salah satunya adalah melakukan rekonsialiasi dengan para investor asing yang telah berinvestasi di Indonesia. Kandidat bernomor urut satu ini memperoleh banyak dukungan dari para petani dan nelayan.
Kandidat dengan nomor urut 2 (dua), yaitu SBY-Budiono menawarkan sistem ekonomi jalan tengah, yaitu sebuah sistem ekonomi yang tidak mengikuti pola pasar bebas secara mentah seperti yang di tudingkan oleh lawan-lawan politiknya. SBY-Boediono menyatakan bahwa akan ada intervensi dari negara untuk mengatur sistem perekonomian sehingga tidak terjadi privatisasi secara besar-besar oleh pihak asing terhadap sumber daya alam dan instansi BUMN. Stigmatisasi yang ditudingkan kepada SBY-Boediono bahwa mereka adalah antek-antek IMF dan akan menerapkan sistem ekonomi neo-liberal sama sekali tidak benar. Itu hanya merupakan sebuah usaha pembunuhan popularitas yang digencarkan oleh para rivalnya.
Pada masa kepemimpinan SBY, telah terealisasi beberapa kebijakan yang direspon positif oleh rakyat sebagai sebuah kebijakan yang baik, sebut saja program subsidi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri), ditambah keseriusannya dalam mengatasi kasus korupsi. Semuanya itu dirasakan sukses oleh pemerintahan SBY, oleh karena itu “Berikan Bukti, Bukan Janji dan ”Lanjutkan” adalah slogan yang ditawarkan oleh pasangan SBY-Boediono. Artinya kebijakan yang telah dilakukan pada periode lalu akan dilanjutkan jika terpilih nanti, dan dengan sebuah asa yang optimis bahwa bangsa dan negara akan menjadi lebih baik karena dijalankan oleh ”Pemerintahan yang Bersih Untuk Rakyat”.
Pasangan dengan nomor urut 3 (tiga), JK-Wiranto menunjukan keseriusannnya dalam menangani persolan bangsa melalui motto ”Lebih Cepat Lebih Baik” dan “Mandiri untuk Rakyat”. Negara telah dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berkelanjutan, untuk itu bagi JK-Wiranto persoalan-persoalan yang telah dialami jangan terus dibiarakan berlanjut, harus ada tindakan yang cepat dan tegas untuk mengatasinya. Dengan mengambil tindakan yang cepat, negara akan mengalami perubahan yang lebih cepat pula yang menuju ke arah yang lebih baik.
Dalam sektor ekonomi, JK-Wiranto fokus pada pemberdayaan potensi sumber daya alam secara mandiri yang bertumpu pada sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal itu senada dengan slogannya ”Mandiri Untuk Rakyat”. Sumber daya alam harus dikelola oleh orang kita sendiri sehingga hasilnya secara otomatis akan dinikmati sepenuhnya oleh anak bangsa. Contoh yang diberikan untuk memperkuat argumentasinya adalah pada proyek pembangunan bandara di beberapa propinsi di Tanah Air yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan pihak asing.
Pada prinsipnya semua calon mengedepankan sistem pemerintahan yang pro rakyat, dimana mereka ingin mencapai kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, serta ingin mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang amanat pembukaan UUD 1945. Kita semua melihat janji-janji yang ditawarkan lewat slogan-slogan yang dikumandangkan dalam setiap kampanye sangat manis. Ibarat gula rakyat adalah semutnya. Hak suara telah diberikan kepada pasangan calon yang janjinya semanis gula, kini tinggal kita melihat buktinya apakah janji-janji itu benar akan semanis gula, atukah malah tawar atau bahkan pahit.

Oleh Fredek E Lodar

Usaha Partisipasi dan Problematika Perempuan Dalam Kancah Perpolitikan di Tanah Air: (Kontradiksi undang-undang PEMILU No. 12/2003 Pasal 65:1 tentang Kuota 30% perempuan dalam Partai Politik )

PENGANTAR
Di Yunani, pada abad ke 5 SM  perempuan tidak diakui sebagai warga negara. Perempuan tidak memiliki hak untuk ikut terlibat dalam  urusan publik seperti menjadi anggota dewan, hakim atau juri pada pengadilan. Perempuan dipandang hanya bisa bekerja di rumah.
Pada dasarnya dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM), laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan, oleh karena itu pandangan-pandangan klasik yang mendiskreditkan perempuan dipandang sebagai sebuah tindakan yang tidak adil dan mencederai nilai-nilai kemanusian. Bentuk-bentuk diskriminasi klasik seperti yang terjadi di Yunani merupakan faktor yang mendorong kaum perempuan untuk menuntut adanya kesetaraan jender (gender equality).

Contoh Kasus
Kuwait merupakan salah satu Negara Uni Emirat Arab yang telah melaksanankan Pemilihan Umum sebanyak 11 kali. Namun perempuan tidak dilibatkan untuk berpartisipasi sebagai pemilih dan dipilih. Gerakan perempuan Kuwait terus melakukukan tindakan afirmatif (affirmative action) terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh negara dengan menutut diberikannya ganti rugi terhadap perlakukan tidak adil yang selama ini dialami, dengan memberikan kemudahan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam bidang politik.
Pada tahun 2005 pemerintah Kuwait melakukan amandemen terhadap undang-undang. Alhasil perempuan diperbolehkan andil dalam kegiatan politik praktis. Pada bulan Juli 2007, perempuan Kuwait memasuki sejarah baru. Mereka diberi hak terlibat secara langsung dalam PEMILU dengan ikut mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Terdapat kurang lebih 28 caleg perempuan yang ikut bertarung dalam memperebutkan kursi. Sayangnya, tidak satu pun dari 28 caleg perempuan yang bertarung dengan 220 kandidat pria meraih kursi di parlemen, padahal 57% dari 340.000 pemilih adalah perempuan. Namun, kalangan caleg perempuan berkomentar, sekalipun kalah suara, tetapi mereka merasa menang dalam pengalaman. (http://www.rahima.or.id/SR/19-06/Teropong.htm).
Dalam tulisan ini penulis akan membahasa mengenai:
  1. Gerakan Perempuan di Tanah Air
  2. Terobosan Gerakan Perempuan
  3. Kontradiksi undang-undang Pemilu No. 12/2003
  4. Tantangan Perempuan dalam Kanca Perpolitikan
PEMBAHASAN
Gerakan Perempuan di Tanah Air
Gerakan emansipasi perempuan Indonesia telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Putri Merdiko adalah salah satu organisasi perempuan yang berdiri pada tahun 1912 yang memperjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam hal kesamaan hak dalam mengenyam pendidikan. Organisasi ini memberikan semacam bantuan beasiswa bagi perempuan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, kita juga mengenal tokoh perempuan yang terkenal dengan bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, R.A Kartini. Beliau  juga merupakan salah seorang tokoh perempuan yang giat dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam bidang  pendidikan. Kini  terdapat sederatan organisasi gerakan perempuan yang berjuang mensetarakan perempuan dengan laki-laki diajang politik seperti SPSP (Gerakan Pemberdayaan Perempuan Swara Perempuan), Kaukus Perempuan, Solidaritas Perempuan dan lain-lain.
Bagaimana kondisi perempuan di Indonesia dalam menuntut kesetaraan dengan kaum adam di organisasi politik? Apabila dibandingkan dengan Kuwait pada kondisi sebelum tahun 2005, perempuan di Indonesia masih sedikit lebih beruntung karena sejak negara ini merdeka 1945 dan pada waktu pelaksaan Pemilu pertama di tahun 1955, perempuan telah memiliki hak untuk ikut memberikan suara, bahkan boleh ikut mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun pada tatanan realita jumlah kursi di parlmen dan  dibidang publik lainnya penuh sesak didominasi oleh laki-laki. (lihat tebel 2 dan 3).
±51% penduduk Indonesia adalah perempuan, namun keterwakilan perempuan di parlemen tidak setara dengan jumlah penduduk perempuan. Oleh kaum feminis ditakutkan akan terjadinya  kepincangan pada tingkat pengambilan kebijakan yang akan berpotensi tidak mengokomodir aspirasi perempuan.
Ada pemikiran bahwa selama ini perempuan tertidur lelap karena di ninabobokan oleh budaya, dan teks agama yang seolah-olah “mentabukan” perempuan untuk berkecimpung di dunai politik.
Budaya mendefinisikan tipe ideal perempuan yaitu, mahluk yang indah namun lemah, sehingga hanya boleh bekerja disektor domestik, yaitu mengurus anak, mengelola kebutuhan rumah tangga dan melayani suami. Sementara pandangan agama-agama Yudasime, seperti Islam dan Kristen, jelas tercatat dalam kitab suci bahwa perempuan diciptakan dari tuang rusuk laki-laki, yang kemudian memunculkan penafsiran bahwa perempuan mahluk yang lemah.  Kusunya dalam ajaran Islam terdapat beberapa ayat Al-quran yang kemudian ditafsirkan kepemimpinan hanya boleh dijabat oleh laki-laki.
Social construction seperti itu yang membuat perempuan tetap terbelenggu dalam ketidak berdayaan. Namun gerakan-gerakan perempuan telah dan sedang memperjuangkan kesetaraan dengan berusaha menepis asumsi-asumsi yang mendiskreditkan mereka. Dengan berkacamata Human Right, gerakan perempuan terus malakukan terobosan politis untuk menciptakan kesetaraan jender.

Terobosan Gerakan Perempuan
Tanggal, 22 Desember 1928 berlangsung kongres perempuan pertama di Yogyakarta. Salah satu hasil kongres adalah membentuk Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Gerakan ini tujuannya mempersatukan perempuan Indonesia untuk menuntut perlindungan terhadap berbagai kekerasan dan memperjuangkan kesaman hak perempuan dengan laki-laki dalam sektor publik.
Pada tahun 1958 dibawa kepemimpinan Suharto, Indonesia meratifikasi konfrensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (UN Convention on the Eliminatiions of All From of Discriminations against Women) melalui UU No. 7 tahun 1984. Selanjutnya, pada era pemerintahan Habibie, pemerintah meratifikasi Options Protocol of the Women Conventions. Sejak saat itu, Indonesia melakukan upaya serius memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan melalui strategi “pengarusutamaan jender” (gender mainstream)[1].
Di masa pemerintahan Megawati, di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan, permasalah jender diangkat kepermukaan. Hal itu dilhat dari visi yang ingin dicapai yaitu ”mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Untuk mewujudkan visi itu, telah ditetapkan enam misi, yaitu meningkatkan kualitas hidup perempuan, memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, meningkatkan pelaksanaan dan memperkuat kelembagaan Pengarus Utamaan Gender (PUG), dan meningkatkan partisipasi masyarakat.[2] Perlahan namun pasti perempuan mulai memperoleh perhatian.
Pada bulan Februari tahun 2003, lewat undang-undang No. 12/2003 pemerintah secara jelas membuka pintu bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam partai politik. Undang-undang tersebut mengatur tentang kuota komposisi perempuan dalam struktur keangotaan partai politik. Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003, pasal 65 ayat 1 meyatakan bahwa “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%[3]. Undang-undang tersebut ibarat pelita ditengah kegelapan yang menuntun perempuan menuju dunia politik.
Tindakan Afirmatif (Affirmative action) adalah langkah strategis yang dipergunakan oleh gerakan perempuan untuk menuntut kesetaraan dengan laki-laki, dan lahirnya undang-undang yang memberi kuota adalah hasil dari aksi afirmatif yang dilakukan secara frontal oleh gerakan-gerakan perempuan.

Kontradiksi undang-undang PEMILU No. 12/2003
…tidak perlu ada pembagian kuota, karena relatif tergantung kemampuan masing-masing. Jadi justru  tidak adil kalau ada kuota (PAN)
…Misalnya, kaum wanita itu sendiri tidak dipilih oleh kaum wanita bagimana? Apa ada jaminan seorang tokoh wanita dipilih oleh wanita? Kemudian dengan mengkuota apakah tidak menghalangi hak orang lain? Ngga perlu ada kuota (PBB)
…yang penting secara mendasar hak-haknya sama. Di lapangan kalau memang perempuan berkualitas dia yang memimpin (PKB)
…Secara keseluruhan wanita sudah diberi kesempatan…tetapi ada faktor budaya, bahwa wanita dalam konsep jawa konco wingking, sebagai teman tetapi dibelakang, dan tidak bisa sejajar. ( Politik Perempuan Bukan Gerhana, hlm 96)
Kutipan-kutipan tersebut merupakan argumentasi yang dinyatakan oleh para pengurus beberapa partai politik, dan bisa jadi itu memperlihatkan pandangan partai-partai besar di Indonesia mengenai gagasan kuota 30% keterwakilan perempuan di parleman.
Sejak pelaksanaan Pemilu pertama 1955, tidak ada satupun undang-undang yang melarang perempuan untuk terlibat dalam bidang politik praktis. Secara terbuka semua warga negara memiliki hak yang sama seperti yang tertuang pada pasal 27 ayat 1 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Keluarnya undang-undang  Pemilu yang mengkuotakan keterwakilan perempuan minimal 30% justru akan memberi kesan negatif bahwa perempuan dipandang lemah dan tidak mampu secara mandiri dengan kekuataan sendiri masuk dan berkompetisi di dunia politik.
Tabel di bawah menggambarkan pandangan sikap partai politik terhadap kuota perempuan dalam partai politik.

Tabel 1.Sikap Partai Politik mengenai kuota bagi perempuan
Sikap Jumlah %
Setuju 3 6,3
Tidak Setuju 36 75
Tidak Menjawab 9 18,8
TOTAL 48 100
Sumber: API, 1999 dan diolah kembali oleh Devisi Perempuan dan Pemilu CETRO 2003.
Data di atas memberi gambaran bahwa 75% tidak setuju dengan kuota 30% bagi perempuan.  Megawati sendiri sebagai salah seorang politikus perempuan dalam sebuah pidatonya dengan tegas menolak kuota karena dianggap justru merendahkan martabat kaum perempuan. Ia mendorong agar kaum perempuan Indonesia harus berjuang jangan meminta belas kasihan dengan kuota.
Bagi gerakan perempuan, kuota 30% merupakan pintu kecil yang akan membawa perubahan besar dalam komposisi jumlah keterwakilan perempuan pada periode-periode mendatang di parlemen. Dengan bertambahnya jumlah perempuan di parlemen diharapkan permasalahan yang selama ini  dialami  dapat diakomodir. Kuota 30% perempuan ada sebagau akibat sebuah ketertindasan budaya yang tidak memberi ruang kepada perempuan dalam ring politik.

Probelmatika Perempuan dalam Kancah Perpolitikan
Ada tiga tantangan yang dialami perempuan dalam berkiprah di dunia politik, hal itu diutarakan oleh Prof. Farida Nurland seorang akademisi dari Universitas Hasanudin Makassar. Ketiga tantangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1). Budaya Indonesia Patriarki.
Perempuan dalam budaya Indonesia telah dikonstruksikan sebagai orang yang selalu berada di bawah laki-laki dan ruang geraknya hanya sebatas ruang domestik, yaitu mengatur urusan rumah tangga, mengasuh anak, mengelola kebutuhan rumah tangga dan melayani suami.
Social construction masyarakat yang telah membudaya tersebut membuat perempuan enggan keluar dari ruang domestik ke ruang publik. Hal itu dikarenakan akan terjadi anomaly atau perempuan akan dipandang telah melakukan devian terhadap pranata yang ada dalam masyarakat. Budaya patriarkis telah membangun sebuah bangunan sistem yang kompleks yang pada setiap bagian kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara didominasi oleh laki-laki.
2). Pemahaman dan Interpretasi konservatif masyarakat Indonesia terhadap ajaran agama beragam.
Mayoritas penduduk  Indonesia beragama Islam, hal itu memberi kekhasan tersendiri dalam sistem politik termasuk dalam hal kepemimpinan. Posisi laki-laki dan perempuan telah diformat sedemikian rupa sesuai dengan tafsiran dari ajaran-ajaran agama dalam ayat-ayat kitab suci.
Dalam masyarakat muslim, ada beberapa konfigurasi pemikiran keagamaan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Pandangan pertama, menyatakan bahwa perempuan diharamkan untuk terjun di dunia politik, karena politik merupakan wilayah publik dan wilayah kekuasaan laki-laki. Apalagi sampai menjadi pemimpin politik atau kepala negara, hal ini sangat tidak dibenarkan. Argumen yang seringkali digunakan adalah teks Surat An Nisa’ ayat 34: Ar Rijaalu Qawwaamuuna ‘alaa An Nisaa’ yang diartikan secara zakelijk “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan“. Selain itu juga ada hadits Nabi saw : Lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan (Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan)
Pandangan kedua, menyatakan perempuan bisa terlibat dalam dunia politik dan bahkan memimpin negara dengan alasan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Kata Ar Rijaalu dalam QS. An Nisa’ 34 dianggap tidak merujuk pada laki-laki secara fisik, tapi kesatriaan sebagai sifat maskulin positif yang bisa dimiliki lelaki maupun perempuan.
Pandangan ketiga, menyatakan perempuan dapat terjun ke dunia politik seperti halnya laki-laki, tetapi tidak dapat menjadi pemimpin tertinggi atau kepala negara [4]
Berbagai macam interpretasi teks ayat-ayat Al-quran melahirkan kontradiksi terhadap status perempuan dalam kepemimpinan. hal itu menciptakan dilema dalam masyarakat Islam kususnya perempuan.
3). Institusi-institusi Negara yang terus menerus mempertahankan budaya patriarki.
Sadar atau tidak sadar institusi-institusi negara tetap mempertahankan status kuo kepemimpinan laki-laki dalam lembaga-lembaga politik formal. Pola kerja yang maskulinisme membuat mahluk yang bernama perempuan dipandang tidak memiliki kemampuan dalam bekerja disektor publik, sehingga ada keraguan terhadap perempuan  Hal itu dapat dilihat pada table dibawah ini.

Table 2: Jumlah Perempuan dalam Institusi Politik Formal
Institusi % %
MPR 18 9.2 117 90.8
DPR 44 8.8 455 91.2
MA 7 14.8 40 85.2
BPK 0 0 7 100
DPA 2 4.4 43 95.6
KPU 2 18.1 9 81.9
KPUD 27 18 123 82
Gubernur 0 0 30 100
Walikota 5 1.6 331 98.5
PNS golongan III dan IV 1883 7 25110 93
Hakim 536 16.2 2775 83.8
Pengadilan Tata Usaha Negara 35 23.4 150 73.6
Sumber: Devisi Perempuan dan Pemilu CETRO, 2002 (diambil dari buku Politik Perempuan Bukan Gerhana)

Dari data pada tabel 2 di atas sangat jelas menunjukkan adanya kesenjangan kuantitas antara laki-laki dan perempuan dalam institusi-institusi formal. Laki-laki lebih dominan selalu menempati posisi sentral dalam politik dan pemerintahan. Gambaran ini memberi bukti bahwa institusi-institusi Negara menjadikan laki-laki sebagai pemilik dunia politik dan pemerintahan.
Pada tabel 3 di bawah ini akan lebih jelas kuantitas perempuan dalam lembaga legislatif per periode.

Tabel 3: Persentase perempuan dalam lembaga legislatif per periode
Periode Perempuan Laki-laki
1955-1960 17 (6.3%) 272 (93.7%)
Konstituante 1956-1959 25 (5.1) 488 (94.9%)
1971-1977 36 (7.8) 460 (92.2%)
1977-1982 29(6.3%) 460 (93.7%)
1982-1987 39(8.5%) 460 (91.5%)
1987-1992 65(13%) 500 (87%)
1992-1997 62(12.5%) 500 (87.5%)
1997-1999 54(10.8%) 500 (89.5%)
1999-2004 46(9%) 500 (91%)
2004-2009 61(11.09%) 489 (88.9%)
Sumber: Sekretariat Jendral DPR RI, 2004, (diambil dari buku Politik Perempuan Bukan Gerhana)
Tabel di atas memberi sebuah gambaran bahwa jumlah perempuan yang lolos menjadi anggota parlemen presentasenya masih kurang. Namun ada sedikit peningkatan pada pemilu 2004-2009 yaitu meningkat ±2% dari 9% menjadi 11,09%. Apakah ini sebuah senyalemen dari adanya undang-undang kota 30%?
Terlepas dari tiga faktor di atas, faktor lain yang dialami oleh gerakan perempuan dalam melebarkan sayapnya adalah kurangnya tenaga-tenaga yang terampil dalam berpolitik. Permasalahan ini dilontarkan oleh gerakan perempuan di Medan.
Penyebabnya adalah tingkat pendidikan perempuan tergolong rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Mengapa harus perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah, bukan laki-laki? Pola pikir patriarkis yang selalu mengutamakan anak laki-laki dari pada perempuan adalah dalangnya. Selain itu, faktor finansial juga  merupakan kendala yang dialami oleh perempuan. Terlibat dikepertaian selain memiliki modal intelektualitas, juga harus memiliki modal ekonomi. Perempuan yang ingin berkecimpung di dunia politik sebelumnya harus sudah mapan atau merupakan seorang wanita karier. Hal itu dikarenakan dalam pelaksanaan proses Pemilu akan memakan biaya operasioanl yang cukup besar. Sebagahagian besar perempuan Indonesia adalah ibu rumah tangga dengan tingkat ekonomi yang pas-pasan. Itu kemudian menjadi faktor lain rendahnya partisipasi perempuan dalam politik praktis.


PENUTUP
Keengganan perempuan untuk berkecimpung di ruang publik dikarenakan budaya, agama dan tata cara politik  (sistem sosial) yang mengkonstruksikan perempuan sebagai mahluk yang inferior dan dependent, sehingga  harus berada dibawah pengawasan dan perlindungan laki-laki.
Social construction itulah yang membelenggu perempuan dalam berkarir di bidang politik praktis. Namun berbagai usaha affirmative actions dilakukan untuk memperoleh kesetaraan dan salah satu buktinya adalah Pemerintah mengeluarkan undang-undang Pemilu No. 12/2003 yang memberi kuota perempuan dalam komposisi keanggotaan Parpol.
Jalan  untuk masuk ke dalam dunia politik telah terbuka, namun kendaraan politik memilih-milih penumpang dan memasang tarif  harga yang mahal sehingga sulit dijangkau oleh perempuan. Analoginya ada kendala yang masih dialami oleh perempuan untuk terlibat dalam partai politk dan melangkah ke parlemen.
Pemilu legislatif 2009 telah dilaksanakan, apakah jumlah perempuan di parlemen mengalami peningkatan, atau sebaliknya mengalami penurunan. Itu akan menjadi satu indikator dari efektif atau tidaknya undang-undang No. 12 tahun 2003.
Catatan :
Ani Widyani Soejipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Kompas: Jakarta 2005
Internet:
www.ham.go.id. Judul artikel: Memperdayakan Perempuan Merupakan Persoalan Bangsa, Penulis Vera Indasuwita, 11 januari 2006
http://www.rahima.or.id/SR/03-01/Fokus.htm. Judul artikel Pemimpin Perempuan Dalam Wacana Agama dan Politik. Penulis AD Kusumaningtyas adalah pengurus Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan P

[1] Pemerintah meneruh perhatian dalam meningkatkan kualitas dan kesetaraan perempuan.
[2] Ham.co.id artikel: Memperdayakan Perempuan Merupakan Persoalan Bangsa, Penulus Vera Indasuwita, 11 januari 2006
[3]Dikutip dari buku Politik Perempuan Bukan Gerhana. Any Widyani Soetjipto. 2005 Kompas: Jakarta
[4] http://www.rahima.or.id/SR/03-01/Fokus.htm. Judul artikel Pemimpin Perempuan Dalam Wacana Agama dan Politik. Penulis AD Kusumaningtyas adalah pengurus Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan.

Fenomena Posmodern Dalam Life Style Fokus Kajian: Fashion Harajuku di Japang apakah sebuah fenomena Posmodernitas?

Introduksi

Manusia adalah mahluk pembuat sejarah, dalam kehidupan keseharian entah sadar atau tidak sejarah terus diproduksi.
Ke-budaya-an merupakan bagian inklusif dalam sejarah itu sendiri, sehingga berbicara mengenai sejarah berarti harus disandingkan dengan budaya.
Kebudayaan yang telah dibentuk menciptakan sebuah status quo yang sulit diubah. Perubahan atas status qou dipandang sebagai sebuah hal yang tidak ajek atau anormaly.
Jaman modern yang dibangun sejak renaisance yang mengangung-agungkan ilmu pengetahuan dengan janji-janji penyelamatan terhadap umat manusia telah menciptakan berbagai kebenaran oleh manusia. Manusia dan ilmu pengetahuannya yang rasional merupakan sentral dari kebenaran. Pada saat manusia menciptakan teori yang objektif sehingga menciptakan grand narasi dan mengarah pada terciptanya sebuah keuniversalan yang dijadikan mutlak, hal-hal yang bersifat relativisme, subjektif serta parsial ditolak sehingga mutltikultural dan pluralisme disangkal pada zaman modern. Ketika muncul sesuatu entitas yang beda dari status quo, itu pada akhirnya dipandang ‘aneh/janggal’. Fenomena Harajuku, di Tokyo merupakan life style beda dan ‘aneh’ karena tidak sesuai dengan life style yang umumnya diperankan oleh masyrakat Jepang pada khususnya dan masyrakat dunia pada umumnya.
Harajuku merupakan suatu fenomena budaya baru yang cukup manarik perhatian dunia fashion internasional. Betapa tidak fashion life style ini langsung di adopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia.

Sejarah
Term Harajuku yang kini dikenal populer sebagai sebuah life style fashion, berasal dari nama sebuah kota di kawasan sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo, dimana Kawasan ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda dengan mengenakan pakaian yang full colour dengan perpaduan warna yang tidak ‘matching’ atau tidak sesuai (perspektif modern) Bukan hanya cara perpakaian yang full colour, rambut dan wajahpun demikian. Rambut diwarnain dengan warna-warna yang mencolok/terang dan wajah di make-up ala gothic, dan tokoh-tokoh dalam film kartun seperti Sailor moon. Annon-zoku adalah istilah bagi perempuan yang bergaya demikian di Harajuku, Tokyo.
Sekitar tahun 1990-an kawasan jalan di Harajuku makin ramai sejak dijadikan sebagai area khusus pejalan kaki. Tempat ini menjadi sangat favorit bagi anak mudah untuk bersantai. Disitu kemudian dijadikan sebagi ruang anak-anak mudah untuk mengekspresikan diri dalam hal fashion.
Harajuku kemudian berkembang menjadi suatu trendsetter life style fashion yang tidak hanya berkembang di Jepang, namun keluar ke negara-negara lain termasuk Indonsia. Artis-artis Indonesia seperti, Ratu (Maya dan Mulan Kwok), dan Agnes Monika, adalah gambaran segelintir individu yang mengadopsi fashion tersebut.  Semakin memboomingnya sehingga di Indonesia kini banyak salon-salon yang menyediakan jasa fashion ala  Harajuku atau sering di istilahkan juga dengan Japanese Style. Bukan hanya artis-artis yang berbusana ala harajuku, anak-anak muda di kota-kota metropolitan pun telah mengadopsinya, di Bandung baru-baru ini berlangsung event fashion show Japanese style.


Motif kemunculan Life style Fashion Harajuku
Berbicara mengenai suatu tindakan sosial berarti ada motif yang mendasarinya sehingga terwujud dalam tindakan nyata. Jepang terkenal sebagai salah satu negara industri raksasa di Asia bahkan di Dunia. Kehidupan masyrakat  Japang telah diformat oleh etos kerja yang memiliki disiplin tinggi terhadap waktu dan budaya membuat masyrakat. Budaya yang dimaksud disini penekanannya pada aspek fashion/berpakaian. Keseragaman adalah hal yang menjadi pemandangan sehari-hari di Tokyo, terutama di hari-hari kerja. Para pegawai kantoran berdandan sangat formal dengan mengenakan pakaian yang seragam seperti, mengenakan jas hitam atau yang berwarna gelap, celana gelap, berbaju putih dengan dasi gelap, menenteng tas, rambut tersisir rapi, dengan gaya jalan yang cepat. Kemudian bagi kaum pelajar diwajibkan mengenakan pakaian seragam yang rapi dan sopan, dimana siswi-siswi diwajibkan memakai rok yang panjangnya dibawah lutut.


Poin – poin Persoalan
Apakah fashion harajuku merupakan sebuah aksi protes secara halus menentang struktur keseragaman yang ada, dimana korban keseragaman telah merasa jenuh dengan status quo fashion yang kaku dan formal ? Apakah karena itu harajuku sebagian new culture dapat disebut sebagai suatu budaya posmodernitas yang muncul karena kehidupan modern dipandang telah usang?.

Membahas persoalan
Right of different adalah salah satu ciri dari posmodernitas, dimana masing-masing individu memiliki hak untuk menunjukan keberadaan dirinya. Hak untuk beda dijunjung oleh postmodern karena itu, posmodernisme sering dipandang sebagai dewa penyelamat bagi orang-orang yang memiliki perbedaan dengan orang-orang lain pada umumnya.
Perbedaan yang lahir dalam masyrakat pada umumnya terjadi karena adanya ketidak cocokan individu-individu dengan keadaan yang sedang dijalaninya sekarang (protes terhadap status quo), misalnya tidak puas dengan suatu ideologi, regulasi pemerintah dan norma dalam sebuah pranata.
Fashion Harajuku secara substansi merupakan bentuk entitas generasi mudah di Tokyo, sebagai wujud protes secara halus terhadap fashion yang ada dalam masyrakat Jepang. Tercuptanya kekakuan fashion masyrakat Jepang adalah regulasi yang ditetapkan oleh institusi-insitusi seperti perkantoran, pabrik dan sekolah. Sedangkan jika orang memandang secara esensialis berarti harajuku hanya  dilihat sebagai sebuah life style dalam hal fashion.
Kekakuan dan keformalan fashion membuat para remaja di Tokyo jenuh dan jengkel, mereka ingin membuat perubahan dilevel struktural yang menciptakan kekakuan itu, namun tidaklah mudah. Kebudayaan yang diciptakan oleh tangan-tangan penguasa membutuhkan kuasa pula untuk merekonstruksinya. Sebagai bentuk ketidak mampuan dalam merubah pranata tersebut mereka salurkan dalam bentuk fashion.
…cara berdandan seperti itu merupakan identifikasi dari sebuah pemberontakan terhadap berbagai sisi dan aspek kehidupan masyarakat Jepang yang hanya terpola waktu yang ketat, kedisiplinan, dan sama sekali tidak mempunyai ruang ekspresi[1]

Fashion Harajuku sebagai suatu estetika posmodern
Fashion Harajuku merupakan estetika posmodern. Karena merupakan kebalikan dari estetika modern yang memandang keindahan secara objektif yang diuniversalkan. Dalam estetika postmodern, keindahan merupakan hal yang sangat intuituif, sehingga sebjektifitaslah yang berperan dalam melihatnya.
Estetika modern fashion Harajuku dinilai aneh dan “nyelono” dikarenakan tidak ‘mecing’ dalam hal berbusana. Dalam fashion modern kesimetrisan, keserasian, atau keteraturan itulah yang mengandung nilai estetika. Harajuku disebut estetika posmodern karena keindahan atau estetika itu sangat relativ dan subjektif. Fashion harajuku yang dilihat dari perspektif modern tidak mecing sebaliknya dari perspektif posmo itulah keindahan yang sesungguhnya yang ditampilkan oleh para individu dalam menujukan entitas diri.
Oposisi biner yang berlangsung dalam modernitas berujung pada penunjukan salah satu pihak keluar sebagai yang terbaik (superior). Fashion yang selama ini digunakan oleh remaja di Tokyo yang serba diformat adalah status quo yang terus dijaga, dimana unsur kekuasaan atau dominasi salah satu pihak kepada pihak lain.
Pihak yang dimaksud disini adalah pranata atau insitusi-institusi sosial. Seperti lembaga pendidikan dan lembaga ekonomi dalam hal ini pabrik dan perkantoran.
Menurut Faucoult dalam setiap pola hubungan dalam masyrakat ada tersirat unsur kekuasaan yang satu terhadap yang lain, sehingga menimbulkan adanya domonasi-dominasi satu terhadap yang lain. Pranata sosial dalam hal ini instutusi pendidikan dan ekonomi memformat gaya berbusan. Ini lahir dari suatu pemikiran yang objektif bahwa berbusan yang baik bagi pelajar dan pekerja haruslah demikian. Hal tersebut mematikan kreatifitas individu untuk berekspresi.
Meminjam istilahnya Niestche ‘Dionisia‘ sikap individu yang lebih mengutamakan kebebasan atau kemaun diri dari pada mengikutu aturan yang dibuat oleh masyrakat. Ini merupakan sifat yang ditunjukan oleh para Annon-zoku (remaja Di Tokyo yang berdandan harajuku).
Relativisme dalam ilmu pasti saja ada apalagi dalam ilmu sosial kritik postmo terhadap modern yang terlalu mengagungkan positivisme dalam melihat persoalan sosial dalam masyrakat.
Pada akhirnya dapat ditarik sebuah asumsi bahwa life style  Harajuku yang dilakoni oleh para remaja di Tokyo, Jepang merupakan suatu bentuk fenomena posmodern, karena lahir sebagai bentuk kekecawaan dan protes terhadap fashion anak mudah di Tokyo yang kaku karena format oleh keseragaman secara struktural yang telah membudaya.

Fredek E Lodar

[1]Dikutip http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/082007/22/1001.htm dari Artikel yang berjudul: Harajuku Simbol Pemberontakan yang dikelola oleh Pusat Data Redaksi Bandung.

Fenomena Posmodern Dalam Life Style Fokus Kajian: Fashion Harajuku di Japang apakah sebuah fenomena Posmodernitas? Oleh Fredek Efendi Lodar