Sejak dijaminnya kebebasan pers dalam undang-undang Pers Nomor 40/1999, para pekerja media laksana burung yang baru lepas dari sangkar. Dengan berani dan tajam menyorot isu-isu sensitif ke permukaan publik. Kasus-kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan melibatkan para petinggi negara bukan lagi hal yang perlu ditakuti seperti pada masa Orde Baru berkuasa. Kini dengan adanya UU Pers, pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi secara transparan dan bertanggungjawab kepada publik tanpa dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Aksi para jurnalis dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum merupakan hal terpuji karena sejatinya pers memiliki tanggungjawab moral untuk memberitakan dinamika serta gejolak yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada publik. Dengan demikian pers dan jajaran jurnalis di dalamnya berperan sebagai salah satu agen dalam struktur bangunan demokrasi dalam mengontrol rezim penguasa sebab kekuasaan cenderung korup.
Bagaimana dengan Pekerja Infotainment televisi, apakah sah disebut jurnalis?
Pada umumnya pekerja media atau jurnalis didefinisikan sebagai orang yang kegiatannya mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakannya lewat berbagai transmisi seperti televisi, radio, surat kabar dan media lainnya. Namun apakah semua pekerja media bisa disebut sebagai jurnalis?
Berdasarkan definisi di atas, orang yang memberitakan kasus cicak versus buaya, Prita Mulyasari dan skandal Bank Century adalah para jurnalis. Lantas bagaimana dengan pekerja infotainment? Mereka juga melakukan kegiatan yang sama yaitu, mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakan ke pada khalayak yang sifatnya entertain.
Perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen mengakibatkan dia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Kasus itu mencuatkan status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai pekerja infotainment justru telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.
Pro-Kontra
UU Pers 40/1999 ayat 3 menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pekerja infotainmen bisa dikategorikan melakukan fungsi hiburan. Namun, apakah berita tentang perceraian, dan perselingkuhan bisa disebut sebagai hiburan? Untuk itu definisi hiburan sendiri harus dijabarkan secara komprehensif dan diberi batasan sehingga ada patokan yang dijadikan sebagai kontrol atas berbagai acara hiburan yang tayang.
Berikut ini ada beberapa kutipan perdebatan wacana tentang keabsahan pekerja infotainmen sebagi jurnalis. Menurut MUI, format penyajian yang tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaimen? “Menteri Agama Surya Darmali pun mendukung fatwa haram tersebut. Katanya tidak ada satupun agama yang menghalalkan pemberitaan buruk orang lain untuk dikonsumsi publik.”[1] Untuk itu perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menurut Triyono Lukmantoro, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan bahwa “Para pekerja tayangan infotainment tidak layak disebut sebagai wartawan atau jurnalis. Selama ini pekerja infotainment hanya menonjolkan gosip-gosip tanpa didasari fakta sesungguhnya, karena tidak sesuai dengan fakta dan para pekerja infotainment justru menganggu pribadi seseorang. Selain itu, hasil dari pemberitaan infotainment tidak ada kepentingan untuk publik. Jadi tidak ada manfaatnya, kata pengajar filsafat dan etika ini”[2].
Pendapat yang berbeda datang dari Direktur Utama Program Tayangan Cek and Ricek yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang. Ilham mengaku tak terima awak infotainment tidak diakui sebagai wartawan hanya lantaran satu atau dua kasus pelanggaran kode etik. Menurut Ilham, awak infotainmen adalah wartawan yang diakui PWI karena praktik kerja mereka adalah praktik kerja wartawan[3]
Dikarenakan adanya pro-kontrak terhadap status pekerja infotainment dalam ruang pers, mereka akhirnya berada diwilayah abu-abu. Pada prakteknya, mereka telah melakukan proses kegiatan jurnalistik secara profesional, namun secara substansial, hal-hal yang diberitakan bertolak belakang dengan etika jurnalistik itu sendiri.
Dalam ketentuan umum undang-undang Pers Nomor 40/1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia[4].
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[5] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga memiliki manfaat positif bagi khalayak.
Berada dalam ketidak pastian sungguh tidak mengenakkan. Status pekerja infotainment yang abu-abu sebaiknya dijadikan satu warna, hitam ataukah putih. Dewan pers dan lembaga yang berkompeten lainnya sebaiknya segera memetakan dan menegakkan aturan secara tegas untuk mendudukkan status pekerja infotaimen, apakah putih disebut sebagai jurnalis ataukah sebaliknya hitam!
Letak kontroversi terletak pada substansi materi yang diberitakan. Sejauh masih mengekspos privasi yang secara normatif tidak layak dipublikasikan, pekerja infotaimen tidak layak 100 % disebut sebagai jurnalis profesional.
Fredek E. Lodar
[1] Dikutip dari Kedaulatan Rakyat pada tanggal, 27 Desember 2009. Infotaimen di Televisi Kebablasan, PBNU Keluarkan Fatwa Haram.
[2] Dikutip dari Tempo Interaktif pada tanggal 21 Desember 2009. Para Pekerja Infotaimen Tak Layak disebut wartawan.
[3] Dikutip dari portal Metrotv news.com. pada tanggal, 21 Desember 2009 Kasus Luna Menyeret Keabsahan Pekerja Infotainment sebagai Jurnalis.
[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
[5] Ibid.