Kamis, 10 Februari 2011

Patutkah Pekerja Infotainment disebut Jurnalis?


Sejak dijaminnya kebebasan pers dalam undang-undang Pers Nomor 40/1999, para pekerja media laksana burung yang baru lepas dari sangkar. Dengan berani dan tajam menyorot isu-isu sensitif ke permukaan publik. Kasus-kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan melibatkan para petinggi negara bukan lagi hal yang perlu ditakuti seperti pada masa Orde Baru berkuasa. Kini dengan adanya UU Pers, pers mempunyai  hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi secara transparan dan bertanggungjawab kepada publik tanpa dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 
Aksi para jurnalis dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum merupakan hal terpuji karena sejatinya pers memiliki tanggungjawab moral untuk memberitakan dinamika serta gejolak yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada publik. Dengan demikian pers dan jajaran jurnalis di dalamnya berperan sebagai salah satu agen dalam struktur bangunan demokrasi dalam mengontrol rezim penguasa sebab kekuasaan cenderung korup.

Bagaimana dengan Pekerja Infotainment televisi, apakah sah disebut jurnalis?

Pada umumnya pekerja media atau jurnalis didefinisikan sebagai orang yang kegiatannya mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakannya lewat berbagai transmisi seperti  televisi, radio, surat kabar dan media  lainnya.  Namun apakah semua pekerja media bisa disebut sebagai jurnalis?
Berdasarkan definisi di atas, orang yang memberitakan kasus cicak versus buaya, Prita Mulyasari dan skandal Bank Century adalah para jurnalis. Lantas bagaimana dengan pekerja infotainment? Mereka juga melakukan kegiatan yang sama yaitu, mengumpulkan bahan berita, menyusun dan kemudian memberitakan ke pada khalayak yang sifatnya  entertain.
Perseteruan Luna Maya di dunia maya dengan pekerja infotaimen mengakibatkan dia dituntut dan dijerat dengan pasal UU ITE (Informasi dan Transasksi Elektronik), tentang pencemaran nama baik. Kasus itu mencuatkan status pekerja infotainmen sebagai jurnalis mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan, sebab dinilai  pekerja infotainment justru telah melakukan pelanggaran terhadap etika profesi jurnalistik.   

Pro-Kontra

UU Pers 40/1999 ayat 3 menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pekerja infotainmen bisa dikategorikan melakukan fungsi hiburan. Namun, apakah berita tentang perceraian, dan perselingkuhan bisa disebut sebagai hiburan? Untuk itu definisi hiburan sendiri harus dijabarkan secara komprehensif dan diberi batasan sehingga ada patokan yang dijadikan sebagai kontrol atas berbagai acara hiburan yang tayang. 
Berikut ini ada beberapa kutipan perdebatan wacana tentang keabsahan pekerja infotainmen sebagi jurnalis.   Menurut MUI, format penyajian  yang  tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaimen? “Menteri Agama Surya Darmali pun mendukung fatwa haram tersebut. Katanya tidak ada satupun agama yang menghalalkan pemberitaan buruk orang lain untuk dikonsumsi publik.”[1] Untuk itu perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang  secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menurut Triyono Lukmantoro, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan bahwa “Para pekerja tayangan infotainment tidak layak disebut sebagai wartawan atau jurnalis. Selama ini pekerja infotainment hanya menonjolkan gosip-gosip tanpa didasari fakta sesungguhnya, karena tidak sesuai dengan fakta dan  para pekerja infotainment justru menganggu pribadi seseorang. Selain itu, hasil dari pemberitaan infotainment tidak ada kepentingan untuk publik. Jadi tidak ada manfaatnya, kata pengajar filsafat dan etika ini”[2].
Pendapat yang berbeda datang dari Direktur Utama Program Tayangan Cek and Ricek yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ilham Bintang. Ilham mengaku tak terima awak infotainment tidak diakui sebagai wartawan hanya lantaran satu atau dua kasus pelanggaran kode etik. Menurut Ilham, awak infotainmen adalah wartawan yang diakui PWI karena praktik kerja mereka adalah praktik kerja wartawan[3]
Dikarenakan adanya pro-kontrak terhadap status pekerja infotainment dalam ruang pers, mereka akhirnya berada diwilayah abu-abu. Pada prakteknya, mereka telah melakukan proses kegiatan jurnalistik secara profesional, namun secara substansial, hal-hal yang diberitakan bertolak belakang dengan etika jurnalistik itu sendiri.  
Dalam ketentuan umum undang-undang Pers Nomor 40/1999,  pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia[4].
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers sudah seharusnya menghormati hak asasi setiap orang. Ada terdapat salah satu pasal yang menarik dalam undang-undang pers yang sering ditabrak oleh para pekerja infotainment. Pasal 5 ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.[5] Pasal ini seharusnya menjadi dasar pijakan bagi semua pekerja media, kususnya pekerja infotainment agar dalam melakukan kegiatan jurnalistik, bobot informasi yang disampaikan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan nilai-nilai sosial, sehingga  memiliki manfaat positif bagi  khalayak.
Berada dalam ketidak pastian sungguh  tidak mengenakkan. Status pekerja infotainment yang abu-abu sebaiknya dijadikan satu warna, hitam ataukah putih. Dewan pers dan lembaga yang berkompeten lainnya sebaiknya segera memetakan dan menegakkan aturan  secara tegas untuk mendudukkan status pekerja infotaimen, apakah putih  disebut sebagai jurnalis ataukah sebaliknya  hitam!
Letak kontroversi terletak pada substansi materi yang diberitakan. Sejauh masih mengekspos privasi  yang secara normatif  tidak layak dipublikasikan, pekerja infotaimen tidak layak 100 %  disebut sebagai jurnalis profesional.
Fredek E. Lodar


[1] Dikutip dari Kedaulatan Rakyat  pada tanggal, 27 Desember 2009. Infotaimen di Televisi Kebablasan, PBNU Keluarkan Fatwa Haram.
[2] Dikutip dari Tempo Interaktif pada tanggal 21 Desember 2009. Para Pekerja Infotaimen Tak Layak disebut wartawan.
[3] Dikutip dari portal Metrotv news.com. pada tanggal, 21 Desember 2009 Kasus Luna Menyeret Keabsahan Pekerja Infotainment sebagai Jurnalis.
[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
[5] Ibid.

Rabu, 09 Februari 2011

VALENTINE DAY BUKAN SEKEDAR BERBAGI COKLAT!


Ketika mendengar “Valentine Day” yang terlintas seketika dalam benak adalah hari saling berbagi kasih sayang kepada orang-orang yang disayangi. Manifestasi dari rasa sayang diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti mengirimkan kartu ucapan, memberikan bunga dan yang paling populer adalah memberikan coklat. Habitus itu tidaklah salah. Namun secara historis ada hal yang lebih substansial dari sekedar berbagi coklat.
Ada terdapat banyak versi yang menceritrakan sejarah valentine day. Salah satunya adalah valentine day merupakan sebuah peringatan dalam memperingati meninggalnya salah seorang saint di Roma yang bernama Valentine. Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi dengan dijatuhi hukuman mati oleh seorang kaisar egois bernama Claudius II karena dinilai tidak mendukung kebijakan kaisar dan malah sebaliknya melakukan pembangkangan.
 Pada waktu itu, kerajaan Romawi sedang dalam masa peperangan dan untuk memperkuat armada perangnya, kaisar mewajibkan kepada semua pemuda untuk turun ke medan pertempuran. Namun, titah kaisar tidak direspon. Bagi Kaisar hal yang menyebabkan tidak diresponya titah tersebut adalah para pemuda tidak rela meninggalkan keluarga dan sang kekasih. Untuk meminalisir keadaan itu, Kaisar Claudius II mengeluarkan larangan bagi pemuda untuk menikah. Hematnya dengan tidak menikah, para pemudah  dengan sukarela dan tanpa beban pikiran akan ikut berperang. 
Saint. Valentine tidak sepaham dengan kebijakan Kaisar yang melarang para pemuda untuk menikah. Bagi dia hal itu tidaklah manusiawi.  Secara diam-diam dia tetap menikahkan setiap pasangan yang saling mencintai. Pada suatu saat, perbuatannya itu diketahui oleh Kaisar. Dia kemudian ditangkap dan dimasukan ke dalam penjara kemudian dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 496 Masehi, oleh seorang pendeta di Roma, 14 Februari ditetapkan sebagai hari penghormatan bagi Saint. Valentine. Pada perkembangannya, perayaan dalam memperingati meninggalnya Saint. Valentine tidak hanya dilakukan oleh masyarakat di belahan Eropa namun, sudah diadopsi oleh sebagian masyarakat dunia sebagai hari kasih sayang. Secara singkat itulah salah satu versi yang menceritrakan sejarah valentine day.
Apa yang dilakukan oleh Saint. Valentine beberapa abad silam merupakan sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan (memperjuangkan pilihan hidup berdasarkan kata hati, cinta dan kasih sayang). Nilai-nilai kemaunisaan yang bersifat universal itulah yang membuat Valentine day dapat diterima di hampir seluruh belahan dunia dengan mengesampingkan latar belakang budaya dan kepercayaan yang berbeda.
Secara pragmatis makna dari valentine day dapat diartikan sebagai kesempatan untuk berbagi dan menunjukan rasa kasih terhadap orang yang dikasihi. Terlepas dari pengertian itu, semangat valentine day bisa juga dimaknai sebagai sebuah cermin untuk melakukan otokritik baik kepada individu maupun negara.
Individu-individu yang selama ini egois, otoriter dan selalu memaksakan kehendaknya agar diterima orang lain padahal itu merugikan dan menyakitkan, ada baiknya disadari menyakitkan orang adalah sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai kemanusian dan salah satu ciri orang yang tidak beradap adalah orang yang selalu melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai kamnusian. Pastinya kita semua ingin mencitakan diri sebagai orang yang beradap.
Sementara otokritik bagi  negara yaitu, cobalah melihat apakah selama ini hak-hak warganegara untuk meresapi hidup dengan senyuman sudah terpenuhi. Jika belum teruslah berjuang dengan diselimuti semangat cinta kasih kepada civil soceity. Dengan adanya kesadaran dan semangat humanisme, kepentingan rakyat akan didahulukan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Pada tatanan rill yaitu pada tingkat pengambilan keputusan, keputusan apapun yang akan direncanakan dan diaplikasi jangan sampai mencederai nilai-nilai kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Kaisar Claudius II yang karna ambisiusnya memiliki angkatan perang yang kuat, dibuatlah kebijakan yang tidak manusiawi dengan melakukan larangan nikah bagi para pemuda.
Konteks latar belakang ruang dan waktu sejarah kemunculan valentine day boleh saja tidak sama. Peristiwa tersebut terjadi di Eropa berabad-abad yang lalu namun, nilai-nilai humanis yang diperjuangkan hingga kini ini belum usang dan masih relevan untuk digunakan. Nilai-nilai humanis yang berbentuk penghormatan terhadap hak asas manusia inilah yang harus selalu diperjuangkan sampai kapanpun selama dunia ini masih berputar.   
Fredek Efendi Lodar